Tampilkan postingan dengan label uneg-uneg kali ya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label uneg-uneg kali ya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Agustus 2009

Andaikata gereja mau tabur uang mati

Melihat perkembangan gereja yang begitu pesat dengan ditandai bertambah banyaknya gereja/ organisasi gereja di Indonesia yang faktanya tidak bertumbuh seiring dengan pertambahan jumlah orang Kristen, yang malah ditengarai semakin menurun jumlahnya. Kita tidak tahu, apakah kita harus merasa bangga denan “pertumbuhan” ini atau haruskah kita justru merasa miris karena “pertumbuhan” ini justru semakin menampakkan adanya perpecahan dalam “gereja’.
Di Koran-koran daerah, kita sering membaca berita yang mengatakan bahwa ada desa-desa yang penduduknya sebanyak 200 atau 100 orang menjadi mualaf, apa yang kita pikirkan kalau membaca hal seperti ini; “ah, itu Cuma propaganda saja, ataukah kita mungkin akan katakan: “ya, itu karena iman orangnya masih kerdil”’. Saudara, saya mau katakan kepadamu, sebenarnya hal itu terjadi mutlak karena kesalahan “gereja”. Beberapa tahun lalu, saya rajin mengikuti seminar-seminar dan banyak hamba Tuhan mengikutinya, tapi setelah mengikuti banyak seminar ternyata saya dapati, kita hanya sekedar senang kumpul-kumpul dan merumuskan cara-cara untuk “memenangkan” dan meneriakkan slogan kesepakatan ‘Kemuliaan Tuhan”.
Misi “gereja” tidak lebih dari sekedar “franchaise” gereja. Pendeta-pendeta “besar” tanpa ragu mencantumkan nama mereka sebagai “Gembala/ Penatua Senior” di iklan-iklan surat kabar untuk menarik orang datang ke acara ibadah mereka, yang anehnya mereka sendiri jarang datang atau bahkan belum pernah datang untuk bahkan “hanya sekedar menengok” kawanan domba mereka.
Dari kota besar sampai kota kecil dipadati oleh “gereja”, “gereja-gereja” baru bermunculan bagai jamur di musim hujan, jemaat terus dipacu untuk memberi dan berkorban bagi pekerjaan “misi” sementara pendeta sendiri enggan mengeluarkan duit dari kantongnya dan misi itu sendiri hanya sekedar tempel nama baru dan bukan sungguh-sungguh buka ladang baru yang belum pernah di garap orang lain.
Perguruan Theologia barupun berlomba-lomba menawarkan paket murah meriah untuk mendapatkan STh, MTh, dan bahkan Doktor yang seringkali hanya untuk penghias kartu nama dan sarana untuk menaikkan honor pelayanan. Berapa ratus tenaga hamba Tuhan baru diluluskan setiap tahunnya dari sekolah-sekolah theologia tetapi anehnya kita masih terus berdoa untuk Tuhan mengirim pekerja-pekerja karena kita tidak tahu kemana pekerja-pekerja yang terlatih ini pergi. Dan orang tanpa malu mencantumkan label Evangelis atau penginjil di depan nama mereka tapi kerjanya hanya berkeliling besoek di gereja-gereja tertentu untuk menadapatkan sekedar upah harian, di daerah banyak pendeta beralih dari PNS (Pegawai Negeri Surga) menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), kita tidak lagi menjadi pendeta tapi pendekar (pendeta karyawan).
Di daerah pelayanan kami di Kalimantan, sepanjang wilayah perbatasan Kalimantan timur sampai ke Selatan dan tengah, berapa banyak daerah tanpa kehadiran gereja bahkan kalaupun ada gereja biasanya satu pendeta/gembala harus melayani berapa atau bahkan berapa puluh jemaat. Kantong-kantong Kristen justru menjadi kantong-kantong sampah yang berisikan kejahatan dan kecemaran. Dan apa yang kita lakukan?
Gereja membangun istana-istana gading yang sering bikin sakit mata karena menjadi ironi di tengah-tengah kemiskinan masyarakat, KKR besar, undang artis, pendeta besar dan kadang ada doorprize untuk menarik orang melihat pertunjukan spektakuler dan dengan label “untuk kalangan sendiri”. Drama Natal dengan pementasan Yesus lahir di kandang dh juga kolong jembatan hanya untuk sekedar menertawakan diri karena sementara itu kita berpesta pora tanpa memperdulikan mereka yang lapar.
Ada banyak gereja baru muncul tahun ini dan tutup tahun depan karena persoalan klasik “tidak ada panggilan” yang sebenarnya hanya pemanis dari pribahasa “lebih besar pasak dari pada tiang”. Andaikata gereja mau tabur uang mati.
Mengundang pendeta harus berhubungan dengan manajer yang bertanya; “berapa banyak…..”. dan banyak alas an untuk katakan “tidak” kalau hanya ada sedikit….
“Berapa besar gerejamu atau berapa banyak jemaatmu”, itu pertanyaan jamak yang biasa ditanyakan kalau sesama pendeta bertemu. Kita tidak pernah merasa malu untuk mengakui apa yang bukan menjadi milik kita. Kita hanya pembantu, pelayan, jongos…
tapi betapa sering kita bertindak sebagao BOSS. Ah andaikata gereja mau tabur uang mati. Atau mungkin memang benar bahwa kita hanya baru bisa mimpi seperti lagu pembuka di Republik Mimpi.
Tuhan kasihanilah kami..